Titik awal kehancuran rumah tanggaku bermula dari hobi baru mas Didi. Entah mendapat pengaruh dari mana, mas Didi kini hobi mengumpulkan dan menonton film-film porno. Pada awalnya aku tidak berkeberatan dengan hobi barunya ini, karena aku pikir hal itu wajar sebagai seorang laki-laki dewasa.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa rumah tangga yang telah aku bina selama 15 tahun akhirnya akan hancur seperti ini hanya karena keseringan nonton film porno. Sebelum menikah, aku selalu mendambakan pernikahan yang bahagia dan harmonis. Kebahagiaan itu sempat aku rasakan di awal pernikahanku, namun hanya sesaat akibat adegan porno itu.
Dengan dasar cinta, aku menikah dengan mas Didi. Awalnya kami merasa sangat bahagia. Kasih sayang melimpah di rumah tangga kami. Saat itu mas Didi adalah suami yang sangat baik, penyayang, dan memanjakanku. Kebahagiaan kami semakin lengkap saat aku mengetahui diriku hamil. Akhirnya anak laki-laki kami lahir dan kami beri nama Jaka. Dia sungguh anak yang sungguh cakap dan cerdas.
Sejak ada Jaka, hari-hari kami semakin ceria. Rasanya saat itu aku adalah istri dan ibu yang paling beruntung di seluruh dunia. Namun ternyata, kebahagiaan itu tidak bisa aku miliki selamanya. Semuanya kemudian berubah.
Titik awal kehancuran rumah tanggaku bermula dari hobi baru mas Didi. Entah mendapat pengaruh dari mana, mas Didi kini hobi mengumpulkan dan menonton film-film porno. Pada awalnya aku tidak berkeberatan dengan hobi barunya ini, karena aku pikir hal itu wajar sebagai seorang laki-laki dewasa.
Setelah itu mas Didi mulai melibatkan aku dalam hobinya itu. Setiap kali kami akan melakukan hubungan seks, mas Didi selalu memutar film porno lebih dulu dan kemudian mengajakku menonton bersama. Setelah film usai, mas Didi memintaku untuk melakukan gaya berhubungan seks seperti yang kami saksikan di film. Untuk melakukan hal ini, aku pun tidak berkeberatan. Bagiku, hal ini hanyalah variasi dari hubungan seks suami-istri. Bahkan ini kuanggap sebagai hal positif yang akan kembali menggairahkan hubungan suami-istri kami, yang rasanya memang sudah mulai membosankan.
Namun lama kelamaan, pengaruh film porno semakin dalam merasuk pada diri mas Didi. Tuntutannya semakin gila dan aneh, bahkan aku pikir sedikit berbahaya. Mas Didi sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk mengutarakan pendapatku, apalagi menolak. Setiap aku menunjukkan gelagat tidak suka, mas Didi selalu marah dan mengancam aku. Hingga akhirnya aku terpaksa menuruti semua keinginannya.
Lama-kelamaan, mas Didi tidak hanya sekedar mengancam. Ia mulai memukuli aku bila keinginannya aku tolak dan mengancam tidak akan memberikan nafkah bagi aku dan anakku. Aku yang hanya ibu rumah tangga biasa dan tidak memiliki penghasilan, hanya bisa pasrah saja menuruti kemauannya. Sementara mas Didi sepertinya mengetahui ketergantungan ekonomiku pada dirinya. Dan hal ini dimanfaatkannya untuk memperlakukan aku sesuka hatinya, terutama saat berhubungan seks.
Makin hari, cara mas Didi memperlakukan aku semakin tidak manusiawi. Bayangkan saja, setiap berhubungan seksual, mas Didi selalu memasukkan benda-benda asing ke dalam vaginaku. Sakitnya tidak tertahankan. Sakit fisik dan juga sakit batinku. Namun mas Didi sepertinya sudah tidak lagi peduli. Dia sepertinya menemukan kesenangan di balik kesakitanku.
Yang lebih parah lagi, ternyata mas Didi selalu menceritakan apa yang dia lakukan padaku saat berhubungan seksual kepada para tetangga dan teman-temannya. Hatiku semakin hancur. Rasa malu yang teramat sangat juga menderaku, terutama bila bertemu dengan tetangga dan teman-teman mas Didi.
Aku pernah mencoba bicara baik-baik dengan mas Didi untuk menyatakan keberatanku dan memintanya untuk tidak lagi menceritakan persoalan yang sangat pribadi ini kepada orang lain. Namun mas Didi malah semakin marah-marah. Aku hanya bisa menangis. Segala angan-anganku tentang pernikahan yang bahagia, suami yang penyayang dan hubungan seksual yang penuh keindahan, ternyata tidak lagi menjadi kenyataan.
Jujur saja, aku sudah tidak kuat lagi melihat sikap dan perangai kasar mas Didi. Terlebih saat aku tahu mas Didi tengah menjalin hubungan dengan perempuan lain! Padahal aku sudah berusaha untuk sabar menghadapi tingkahnya, menuruti semua keinginannya, bahkan keinginan seksual yang aneh sekalipun, namun mas Didi malah berkhianat. Tak sedikitpun pengorbananku sebagai istri dihargai olehnya.
Akhirnya, tidak ada jalan lain, bercerai! Aku memilih untuk bercerita tentang keinginanku ini pada temanku. Ia menyarankan agar aku berkonsultasi ke LBH APIK Jakarta. Awalnya aku malu, namun aku memberanikan diri untuk datang kesana. LBH APIK Jakarta memberiku masukan-masukan seputar proses pengajuan perceraian serta hak-hak yang seharusnya aku peroleh setelah terjadinya perceraian. Aku juga disarankan untuk melaporkan mas Didi ke pihak kepolisian atas kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan padaku. Jika aku merasa takut dan sudah tidak nyaman lagi tinggal bersama dengan Didi, LBH APIK Jakarta menawarkan shelter atau rumah aman
Pilihan-pilihan yang diberikan LBH APIK Jakarta kemudian aku bawa pulang untuk kembali aku pikirkan. Sampai detik ini, aku belum juga bisa memutuskan langkah apa yang harus aku ambil. Aku tahu rumah tanggaku telah hancur dan suamiku telah melakukan kekerasan seksual kepadaku dan mengkhianati aku. Namun apa daya, secara ekonomi, aku sangat bergantung pada mas Didi, aku memilih untuk mempertahankan rumah tanggaku. Lagipula aku harus memikirkan Jaka. Aku tidak ingin Jaka menjadi korban jika kami harus berpisah atau jika bapaknya harus di penjara. Jaka tentunya masih sangat membutuhkan kasih sayang kedua orangtuanya. Aku hanya bisa berharap mas Didi akan berubah, karena aku tidak tahu sampai kapan kesabaranku ini akan bertahan…
(Seperti telah diungkapkan korban kepada penulis yang telah merangkumnya kembali untuk Suara Apik).
Catatan Penulis:
Sepenggal kisah diatas merupakan salah satu bukti bahwa Pornografi juga bisa menjadi pemicu awal terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, khususnya kekerasan seksual. Tidak hanya itu saja, jenis kekerasannya juga bisa semakin meluas menjadi kekerasan fisik, psikis dan ekonomi.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa rumah tangga yang telah aku bina selama 15 tahun akhirnya akan hancur seperti ini hanya karena keseringan nonton film porno. Sebelum menikah, aku selalu mendambakan pernikahan yang bahagia dan harmonis. Kebahagiaan itu sempat aku rasakan di awal pernikahanku, namun hanya sesaat akibat adegan porno itu.
Dengan dasar cinta, aku menikah dengan mas Didi. Awalnya kami merasa sangat bahagia. Kasih sayang melimpah di rumah tangga kami. Saat itu mas Didi adalah suami yang sangat baik, penyayang, dan memanjakanku. Kebahagiaan kami semakin lengkap saat aku mengetahui diriku hamil. Akhirnya anak laki-laki kami lahir dan kami beri nama Jaka. Dia sungguh anak yang sungguh cakap dan cerdas.
Sejak ada Jaka, hari-hari kami semakin ceria. Rasanya saat itu aku adalah istri dan ibu yang paling beruntung di seluruh dunia. Namun ternyata, kebahagiaan itu tidak bisa aku miliki selamanya. Semuanya kemudian berubah.
Titik awal kehancuran rumah tanggaku bermula dari hobi baru mas Didi. Entah mendapat pengaruh dari mana, mas Didi kini hobi mengumpulkan dan menonton film-film porno. Pada awalnya aku tidak berkeberatan dengan hobi barunya ini, karena aku pikir hal itu wajar sebagai seorang laki-laki dewasa.
Setelah itu mas Didi mulai melibatkan aku dalam hobinya itu. Setiap kali kami akan melakukan hubungan seks, mas Didi selalu memutar film porno lebih dulu dan kemudian mengajakku menonton bersama. Setelah film usai, mas Didi memintaku untuk melakukan gaya berhubungan seks seperti yang kami saksikan di film. Untuk melakukan hal ini, aku pun tidak berkeberatan. Bagiku, hal ini hanyalah variasi dari hubungan seks suami-istri. Bahkan ini kuanggap sebagai hal positif yang akan kembali menggairahkan hubungan suami-istri kami, yang rasanya memang sudah mulai membosankan.
Namun lama kelamaan, pengaruh film porno semakin dalam merasuk pada diri mas Didi. Tuntutannya semakin gila dan aneh, bahkan aku pikir sedikit berbahaya. Mas Didi sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk mengutarakan pendapatku, apalagi menolak. Setiap aku menunjukkan gelagat tidak suka, mas Didi selalu marah dan mengancam aku. Hingga akhirnya aku terpaksa menuruti semua keinginannya.
Lama-kelamaan, mas Didi tidak hanya sekedar mengancam. Ia mulai memukuli aku bila keinginannya aku tolak dan mengancam tidak akan memberikan nafkah bagi aku dan anakku. Aku yang hanya ibu rumah tangga biasa dan tidak memiliki penghasilan, hanya bisa pasrah saja menuruti kemauannya. Sementara mas Didi sepertinya mengetahui ketergantungan ekonomiku pada dirinya. Dan hal ini dimanfaatkannya untuk memperlakukan aku sesuka hatinya, terutama saat berhubungan seks.
Makin hari, cara mas Didi memperlakukan aku semakin tidak manusiawi. Bayangkan saja, setiap berhubungan seksual, mas Didi selalu memasukkan benda-benda asing ke dalam vaginaku. Sakitnya tidak tertahankan. Sakit fisik dan juga sakit batinku. Namun mas Didi sepertinya sudah tidak lagi peduli. Dia sepertinya menemukan kesenangan di balik kesakitanku.
Yang lebih parah lagi, ternyata mas Didi selalu menceritakan apa yang dia lakukan padaku saat berhubungan seksual kepada para tetangga dan teman-temannya. Hatiku semakin hancur. Rasa malu yang teramat sangat juga menderaku, terutama bila bertemu dengan tetangga dan teman-teman mas Didi.
Aku pernah mencoba bicara baik-baik dengan mas Didi untuk menyatakan keberatanku dan memintanya untuk tidak lagi menceritakan persoalan yang sangat pribadi ini kepada orang lain. Namun mas Didi malah semakin marah-marah. Aku hanya bisa menangis. Segala angan-anganku tentang pernikahan yang bahagia, suami yang penyayang dan hubungan seksual yang penuh keindahan, ternyata tidak lagi menjadi kenyataan.
Jujur saja, aku sudah tidak kuat lagi melihat sikap dan perangai kasar mas Didi. Terlebih saat aku tahu mas Didi tengah menjalin hubungan dengan perempuan lain! Padahal aku sudah berusaha untuk sabar menghadapi tingkahnya, menuruti semua keinginannya, bahkan keinginan seksual yang aneh sekalipun, namun mas Didi malah berkhianat. Tak sedikitpun pengorbananku sebagai istri dihargai olehnya.
Akhirnya, tidak ada jalan lain, bercerai! Aku memilih untuk bercerita tentang keinginanku ini pada temanku. Ia menyarankan agar aku berkonsultasi ke LBH APIK Jakarta. Awalnya aku malu, namun aku memberanikan diri untuk datang kesana. LBH APIK Jakarta memberiku masukan-masukan seputar proses pengajuan perceraian serta hak-hak yang seharusnya aku peroleh setelah terjadinya perceraian. Aku juga disarankan untuk melaporkan mas Didi ke pihak kepolisian atas kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan padaku. Jika aku merasa takut dan sudah tidak nyaman lagi tinggal bersama dengan Didi, LBH APIK Jakarta menawarkan shelter atau rumah aman
Pilihan-pilihan yang diberikan LBH APIK Jakarta kemudian aku bawa pulang untuk kembali aku pikirkan. Sampai detik ini, aku belum juga bisa memutuskan langkah apa yang harus aku ambil. Aku tahu rumah tanggaku telah hancur dan suamiku telah melakukan kekerasan seksual kepadaku dan mengkhianati aku. Namun apa daya, secara ekonomi, aku sangat bergantung pada mas Didi, aku memilih untuk mempertahankan rumah tanggaku. Lagipula aku harus memikirkan Jaka. Aku tidak ingin Jaka menjadi korban jika kami harus berpisah atau jika bapaknya harus di penjara. Jaka tentunya masih sangat membutuhkan kasih sayang kedua orangtuanya. Aku hanya bisa berharap mas Didi akan berubah, karena aku tidak tahu sampai kapan kesabaranku ini akan bertahan…
(Seperti telah diungkapkan korban kepada penulis yang telah merangkumnya kembali untuk Suara Apik).
Catatan Penulis:
Sepenggal kisah diatas merupakan salah satu bukti bahwa Pornografi juga bisa menjadi pemicu awal terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, khususnya kekerasan seksual. Tidak hanya itu saja, jenis kekerasannya juga bisa semakin meluas menjadi kekerasan fisik, psikis dan ekonomi.
No comments:
Post a Comment